Rabu, 08 Desember 2010

Pedihnya Hati Ibu, Polosnya Hati Anak 

Suaranya tiba-tiba berubah, terdengar sendu menahan air mata yang akan keluar dari ke dua matanya, tapi ia tetap berusaha tegar di hadapan anaknya yang masih kecil itu. Sang anak terus mengguncang-guncang tubuh ibunya, merengek, meminta sesuatu yang baru saja ia lihat di toko siang tadi.
***
Hari itu Sang Surya telah mematikan cahayanya, satu dua kelelawar berterbangan di udara mencari buah yang siap dihisap sarin patinya. Saya dan dua orang kawan memutuskan untuk makan malam di sebuah warung pecel di Jalan Badak, Denpasar.
Dari logat bicaranya, saya tahu jika penjualnya beretnis jawa. Sepasang suami istri dan dua orang anaknya yang selalu siap menyiapkan makanan bagi pelanggan yang keroncongan perutnya. Tanpa banyak cakap mereka bekerja, sesekali tersenyum kepada pelanggan, dan berucap terima kasih kepada yang sudah dilayaninya.
Ternyata mereka memiliki dua anak lagi, yang satu masih kecil, kira-kira SD kelas 2, dan yang satu lagi SMP. Menggenakan motor Yamaha lawas mereka menghampiri tempat kerja orang tua mereka. Sang anak yang masih kecil, langsung loncat dari motor dan memanggil-manggil ibunya. Sang ibu pun meninggalkan dulu pekerjaannya menyiapkan lalaban, dan memeluk Sang Anak yang kecil lucu itu.
“Bu, besok beli sepatu sama baju yah, tadi aku lihat harganya tujuh lima”, celoteh si anak dengan nada memelas. Si Ibu menciumi si anak dengan penuh kasih sayang, mengelus rambutnya yang hitam lurus tanpa berkata-kata.
”Bukan tujuh lima Bu, tapi tujuh puluh lima ribu”, jelas si kaka tanpa ditanya si ibu terlebih dahulu. “Ade, pilih salah satu yah, itu bukan tujuh lima, tapi tujuh puluh lima ribu, ayoo, mau sepatu atau baju”, tutur si ibu kepada anaknya yang masih kecil dengan penuh kelembutan. “Itu tujuh lima ibu, iya tujuh lima, beli dua-duanya ibu!” si anak kecil itu tambah merengek kepada ibunya.
Si Ibu terdiam sejenak, wajahnya berubah, tampak kantung matanya menahan air mata yang akan membasahi pipinya. Suaranya berubah menjadi sendu, terdengar seperi orang yang menahan tangis dan berusaha tegar di hadapan anaknya. “satu dulu saja ya, nak. Nanti kalau punya uang ibu beli keduanya” dengan nada sedih si ibu berusaha menenangkan anaknya, air mata yang tadi ia tahan jatuh membasahi pipinya, tapi hal ini tidak terlihat jelas, samar di balik kerudung coklat yang ia kenakan.
***
Setelah kejadian kecil di warung itu, pintu hati ku terketuk, dan aku pun turut merasakan kesedihan. Terbayang dalam benaku, akan kelakuan ketika kecil dulu. Rewel, tidak bisa diam, dan yang tahu bermain saja tanpa mempedulikan perasaan orang tua. Keluh kesah selalu ditimpakan kepada orang tua, sedangkan kebahagiaan selalu ditimpakan kepada teman atau kekasih.
Sekarang aku tahu, ketika meminta sesuatu kepada orang tua dan orang tua tidak memenuhinya dengan alasan klasik : ekonomi sedang sulit. hanya akan menambah kesedihan sang ibu.Mana ada sih ibu yang tidak mau membahagiakan anaknya? Pasti selalu terbesit dalam pikiran si ibu, jika punya uang nanti akan membelikan apa yang sia anak mau. Tapi indahnya dunia sering kali membuatkan seorang bocah ingusan yang baru saja mengenyam pendidikan lupa akan kulitnya, meminta tetapi tidak menengok kondisi sesungguhnya.
Seorang anak kecil tidak bijaksana jika kita salahkan dalam persoalan ini. Mungkin yang harus si anak kecil itu lakukan adalah membalas air mata yang pernah jatuh dari mata si ibu. Sebuah air mata kasih sayang dan perhatian yang mendalam kepada buah hati. Air mata yang sama ketika mereka menjerit kesakitan menahan tendangan kita di dalam perutnya.
Demi Air Mata mereka, marilah kita berdoa, semoga kasih anak-anak yang akan dewasa nanti terhadap ibunya semakin tumbuh dan berkembang, sehingga terciptalah keharmonisan cinta dalam kehidupan berkeluarga.Tanpa mereka kita tidak ada di dunia ini, maka mari saling mengingatkan untuk selalu berbakti kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar